TENTANG FILM “KUJIRABITO”

Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp

TENTANG FILM “KUJIRABITO”
(Sebuah catatan dari pihak ketiga)

Oleh: Bruno Dasion SVD
Nagoya,12 sepetember 2021

Memasuki bulan ini, sebuah film dokumenter dengan judul KUJRABITO (bahasa Jepang) mulai ditayangkan pada beberapa cinema di kota-kota besar Jepang. Saya sendiri menontonnya di Nagoya.

Film ini adalah hasil karya sutradara dan fotografer terkenal Jepang, Bon Ishikawa. Dan merupakan kesimpulan dari seluruh penelitian dan pendataannya selama 30 tahun tentang tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera, Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Berikut ini beberapa catatan atas film yang bisa menjadi bahan refleksi bagi kita semua.
●Posisi saya:
Saya sendiri tidak pernah mewawancarai Bon secara pribadi untuk mengatahui niat pribadinya, tetapi dengan menonton film ini, saya coba memberikan satu-dua pemahaman (yang tentu hanyalah pendapat pribadi saya, yang tidak mewakili pikiran Bon dan semua yang terlibat dalam proses besar pembuatan film ini).

Perlu ditegaskan disini, bahwa ada tiga kelompok besar yang terlibat dengan film ini. Kelompok Pertama adalah sang sutradara, Bon Ishikawa, dan juga semua anggota kru dari Jepang. Kelompok Kedua, adalah semua orang Lamalera yang terlibat langsung dalam proses pembuatan film. Sedangkan Kelompok Ketiga adalah mereka yang tidak terlibat dalam dua kelompok terdahulu, khususnya mereka yang menonton film ini.

Dalam menulis catatan ini, saya menempatkan diri saya sebagai bagian dari kelompok ketiga. Hal ini saya maksudkan, supaya bisa bebas dan apa adanya dalam menuliskan kritik ini, tanpa harus punya beban perasaan, karena harus berbela rasa tentang hubungan pribadi atau keluarga dengan sutradara dan juga semua anggota kampung yang terlibat.
Tentu saja, tujuan catatan (kritik) ini adalah untuk memberikan apresiasi yang wajar kepada sebuah karya artistik, kepada sutradara dan semua yang terlibat langsung. Kalaupun itu sebuah kritik sehubungan dengan berbagai kekurangan yang terbaca di dalam film, tetapi hal ini bukan untuk memojokkan pihak tertentu tetapi demi sebuah refleksi dan perbaikan dalam memelihara dan menghidupi budaya kenelayanan Lamalera.

Tentang Judul “KUJIRABITO”
Kata ini terjemahkan sebagai LAMAFA (Juru tikam ikan paus dalam tradisi kenelayanan Lamalera). Tetapi saya lebih suka menerjemahkan kata bahasa jepang ini secara harafiah, yang bagi saya memiliki arti yang lebih luas untuk menyebutkan semua nelayan dan semua orang yang terlibat di dalam tradisi ini.
Secara harafiah kata ini bisa diterjemahkan sebagai kata benda tunggal Manusia/Taruna Ikan Paus (Manusia/Taruna Kotoklema) atau juga bisa dalam bentuk jamak sebagai Manusia-Manusia Ikan Paus atau Para Taruna Ikan Paus.

Bon menulis judul Film ini dengan menggunakan dua kata, yakni “Kujira” dan “Bito”. tetapi dalam satu-kesatuan sebagai “Kujirabito”.

Dalam catatan ini, saya sengaja tidak menggunakan Lamafa tetapi terjemahan harafiah “Manusia Ikan Paus” untuk lebih mudah menjelaskan relasi antara ikan paus dan manusia (lamafa,meing-alep dan nara kajjak). Sebab, menggunakan Lamafa, hanya merujuk pada satu pribadi saja, yakni juru tikam.

Kujira berarti Kotoklema (ikan paus bergigi, sperm-whale, yang ditangkap oleh para nelayan lamalera). Sedangkan Bito adalah perubahan ucapan dari kata Hito, yang berarti Manusia atau Orang. Perubahan ini biasanya terjadi dalam penggabungan dua kata. Itulah sebabnya mengapa saya mengatakan bahwa dua kata ditulis dalam satu kesatuan. Sebab kalau ditulis terpisah maka harus dibaca dengan “Kujira Hito.”

Saya tidak tahu, apa yang dipikirkan oleh sang sutradara, Bon Ishikawa, seorang fotografer, kameraman, dan sutradara film dokumenter terkenal di Jepang ketika mengkoin kata ini. Namun sudah bisa dipastikan bahwa, sebagaimana judul-judul lainnya, KUJIRABITO adalah kata pilihan yang sangat jitu menyimpulkan TEMA utama film dokumenter ini.

Makna KUJIRABITO, bisa saya jelaskan sebagai berikut. Sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, bahwa Bon Ishikawa menulis judul film ini dengan dua kata yang terkoin jadi satu. Jadi,kalau mau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka harus ditulis dengan “MANUSIAIKANPAUS”. Atau ke dalam bahasa Lamaholot, dengan “ATADIKEKOTOKLEMA”. Tidak ada spasi/jarak antara kedua kata.

Dengan penulisan ini, saya bisa mengartikan bahwa film ini mau menunjukkan kepada dunia atau kepada semua masyarakat penonton, tentang hubungan yang tak terpisahkan antara Orang Lamalera dengan Ikan Paus. Orang Lamalera hidup karena ada ikan paus dan ikan paus menemukan makna eksistensialnya karena ada orang Lamalera yang menerimanya sebagai berkat bagi kehidupan mereka. Hubungan yang resiprok, kesalingan, yang satu tak bisa menegasi atau menolak yang lain.

Satu hal menarik lainnya, Bon Ishikawa tidak menulis judul ini dalam huruf China tetapi dengan huruf hiragana, yakni jenis huruf yang lahir di Jepang sebagai penyederhanaan yang sangat simpel dari tulisan rumit huruf-huruf China (Kan-Ji).
Bon tidak menulis dalam Kanji 鯨 dan 人, tetapi hanya dengan hiragana くじらびと。

Dengan ini keterpaduan atau satu-kesatuan antara ikan paus dan manusia (para nelayan) lebih terungkap. Seandainya Bon menulis dengan menggunakan dua huruf (karakter) China, yang lebih merupakan piktogram (gambar atau lukisan sebuah obyek), maka akan jelas tampak dan terbaca bahwa ada dua hal (entitas) berbeda yang eksis bersama dalam posisi berdampingan. Ada ikan paus dan ada manusia (nelayan Lamalera, masyarakatnya, tuan tanah dan semua mereka yang mengambil bagian dengan cara tertentu menikmati ikan paus). Tampak dekat, tetapi tetap sebagai entitas atau eksistensi yang berbeda dan punya jarak.

Dengan menulis dua kata sebagai satu kata, Film ini mau menggambarkan hubungan yang tak terpisahkan dari ikan paus dan manusia Lamalera. Dengan kata lain, Kujirabito, adalah sebuah entitas baru yang merupakan peleburan dari ikan paus dan manusia Lamalera. Dan ketika melihat entitas atau eksistensi Kujirabito, orang tidak lagi melihat hanya ikan paus atau hanya manusia saja. Atau orang tidak lagi bisa membuat pembedaan bagian mana yang manusia dan mana yang ikan paus.
Dengan demikian, kegiatan menangkap ikan paus itu bukanlah sebuah drama kehidupan dengan dua pemeran tetapi hanya dengan satu pemeran saja, yakni Kujirabito. Drama yang dipentaskan adalah drama tentang manusia yang datang menjemput berkat dan ikan paus yang datang sebagai berkat dan menyerahkan dirinya. Drama penangkapan ikan paus adalah sebuah drama penebusan, sebuah drama pertemuan dua kekasih.

●Tentang beberapa hal lain
(1) Hal yang bagus untuk film-film dokumenter seperti Kujirabito adalah pemerannya bukanlah aktor atau aktris yang terlatih untuk bisa ber-acting sesuai kebutuhan plot atau narasi yang didesain oleh sutradara. Semua pemeran Kujirabito adalah orang-orang biasa, yang menghidupi kehidupannya sehari-hari dengan sikap yang alami tanpa dirias teknik beracting profesional.

(2) Kitab Suci

Film ini bisa kita maknai sebagai sebuah Kitab Suci yang akan selalu mengingatkan kita tentang kebajikan bernelayan sebagai orang Lamalera.

Bahwa kehidupan di Lamalera itu bukan sekedar kehidupan biasa, bukan sekedar cari makan, tetapi adalah sebuah kehidupan yang kudus, karena selalu menempatkan kehidupan doa dan kepercayaan kepada Tuhan dan para leluhur. Apapun yang dilakukan, selalu di awali dan diakhir dengan doa sebagai ungkapan ketekunan beriman.

Bon menutup film ini dengan musik instrumental AVE MARIA. Ini juga menjadi bukti kepeduliannya terhadap kehidupan iman kita sebagai orang Lamalera.

(3) Traktat Moral

Film ini juga berperan sebagai sebuah traktat moral. Ini tentu mirip dengan artinya sebagai Kitab Suci, tetapi lebih kepada relasi horizontal, tentang relasi antar seluruh warga, semua kru, antara orang Lamalera dan tuan tanah.

Yang selalu diulang dalam narasi film adalah relasi yang baik antar warga di darat menjadi kunci sukses kehidupan di laut. Tuan tanah berdoa dan para nelayan bekerja. Para nelayan bekerja untuk semua warga, teristimewa kaum yatim-piatu.

Inilah relasi yang tidak boleh ditiadakan, kalau semua kita masih menghendaki tradisi ini masih booleh disebut tradisi yang harus dijaga. Sebab ketika para nelayan sudah mulai menghitung untung-rugi untuk lelah mereka sendiri, tradisi ini patut dipertimbangkan.

(4) Dimana Tuan Tanah Tuvaona dan Tobu Nemefatte?

Sebanyak lima kali saya menonton film ini. Di samping untuk lebih menyimak narasi keseluruhan, tetapi juga mau mengamati di mana kehadiran Tuan Tanah Tuvaona dan Upacara Tobu Nemefatte-nya. Menurut saya, ketiadaan bagian ini membuat film ini, dalam arti tertentu, belum sempurna (ini pendapat saya).

(5) EMEN dan Ayahnya

Saya nikmati sekali acting Emen Tapoona. Emen jadi ikon yang brilian dalam film ini. Tampilannya yang sangat natural sebagai seorang anak dengan matanya yang menyimpan dengan sangat agung sebuah rahasia yang sangat dalam tentang masa depan tradisi penangkapan ikan paus.

Ada dialog yang sangat-sangat biasa dengan bapa dan mama-nya, tetapi semunya membahasakan sebuah masa depan yang tidak boleh diungkapkan tuntas pada saat ini.

Emen mewakili kita semua yang merasa memiliki tradisi yang agung ini. Akan jadi apakah tradisi ini di hari esok, hanya hari esoklah yang tahu. Yang bisa kita lakukan hari ini untuk memelihara tradisi ini, haruslah kita lakukan dengan sepenuh hati. Soal hari esok atau masa depan, kita serahkan kepada generasi yang hidup pada saat itu.

Ayah dari Emen, berperan sebagai nelayan hari ini. Ia hanya bisa menghidup tradisi pada masanya saat ini. Cara hidupnya itulah, yang akan menjadi bekal pelajaran bagi puteranya, agar bisa berpikir bagaimana meneruskan tradisi ini dengan kondisi kemajuan pada masanya nanti.

(6) Sebuah Kritik

Film ini adalah sebuah dokumentasi tentang budaya kenelayanan Lamalera dengan berbagai relasi yang mendukungnya. Ia akan selalu mengingatkan kita tentang nilai-nilai baik dari budaya ini.

Tetapi film ini juga berfungsi sebagai kritik. Ada banyak hal yang bisa kita temukan di dalam film ini, sebagai bahan refleksi. Antara lain, tentang kebiasaan berdoa sebelum ke laut, sebelum dan sesudah menangkap ikan. Atau juga kebiasaan berdoa di gereja.

Film ini mengingatkan kita bahwa, kita berdoa bukan karena sekedar acting di depan lensa kamera. Apakah kebiasaan ini juga akan selalu dilakukan tanpa kamera?

Hal lain, adalah soal perlakukan terhadap hasil tangkapan. Pada bagian akhir film saya lihat ada tulang kepala,dan tulang utama (punggung) dan rusuk ikan paus yang dibiarkan begitu saja di pantai. Seingat saya, pada masa dulu, yang tertinggal di pantai itu hanya tulang kepala. Dan itu pun tidak dibiarkan begitu saja. Tuan Tanah sebagai penerima kepala ikan paus, akan menyimpan tulang itu dengan baik di atas batu-batu wadas.

Kita sudah mengadakan ritual untuk meminta ikan ini datang sebagai berkat, tetapi pada akhirnya kita bersikap tidak ramah terhadap berkat ini, dengan membiarkan berserakan begitu saja tulang-tulang ikan paus. Sebuah kesenjangan (jarak besar) antara kesungguhan di dalam ritual(doa) dan kenyataan. Kita harus bersikap lebih sopan terhadap tradisi dan terhadap apa yang kita sebut sebagai berkat.

(7) Untuk Lamafa Benyamin Blikololong

Pada bagian paling akhir dari film, Bon menuliskan pesan ini: ”Film ini dipersembahkan untuk Benyamin Blikololong” dengan diiringi musik instrumental “Ave Maria” yang mengalun dalam suasan doa yang begitu tenteram dan teduh. Narasi film lebih terpusat kepada pergulatan para nelayan dan ikan paus di tengah laut yang begitu dramatis dan mencekam.

Kita bisa merasakan perasaan jiwa dan rasa syukur Bon kepada semua Lamafa dan juga kepada semua yang hidupnya diserahkan untuk menjaga kelangsungan tradisi ini.

Ketika saatnya film ini bisa ditonton di Indonesia, silakan setiap orang memberikan arti sendiri sesuai dengan nuraninya.

Tabe

Editor: Alvin Lamaberaf