Sepucuk Cerita dari Bukit Safari: Krisis Air di Sumber Air

Puluhan hektar hutan dirampas secara membabi-buta dan digilas secara kejam oleh segelintir oknum serakah. Semua demi kepentingan pribadi dan keluarga mereka.

Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp
Lamenk Mana | Aktivis Pemuda Desa Wolomotong, Kecamatan Doren, Sikka, NTT

 “Ami bohe win du abu a’eng raik wulan dara blon. Wair metin marak nete natar. Ami gawi wain pot wolon tota mora U’hu Wair Dena blatan kokon”

SEPENGGAL ungkapan di atas menunjukan jeritan dari krisis air. Ironisnya krisis air di kawasan yang sejatinya adalah sumber air. Hal ini menjadi cerita serentak derita dari warga yang berada jauh dari garis pantai.

Wolomotong dan Kloangpopot adalah dua wilayah yang nan jauh dari bibir pantai dan berada pada wilayah pegunungan. Kedua wilayah ini terletak persis di daerah pegunungan yang diapit  pegunungan Ilin Medo dan beberapa gunung lainnya.

Desa Kloangpopot merupakan salah satu dari tujuh desa penyangga kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Egon Ilimedo yang ditetapkan menjadi desa binaan melalui Surat Keputusan Kepala BBKSDA NTT dengan Nomor : SK. 166/K.5./TU/KSA/9/2018 tentang Penetapan Desa Binaan Balai Besar Konservasi

Sumber Daya Alam NTT tahun 2018. Desa ini memiliki potensi sumber pakan lebah yang melimpah, baik yang berasal dari tanaman hutan, tanaman pertanian maupun tanaman perkebunan.

BACA JUGA:

Bantuan yang diberikan oleh BBKSDA NTT kepada KTH Maju Bersama berupa 25 stup bibit koloni lebah madu jenis Apis cerana serta perlengkapan peralatan petugas budidaya lebah madu, perlatan panen dan pasca panen lebah madu. (Sumber)

Keberpihakan pemerintah ini justru lahir dari potensi wilayah tersebut. Tentu pemerintah dari OPD terkait memiliki  analisa matang. Prioritas pada item pemberdayaan ini tentu harus mendapat nilai plus untuk peningkatan ekonomi masyarakat.

Lantas ini hanya menjadi cerita mati. Pola pemberdayaan yang diharapakan pupus seketika.

Anggaran begitu besar namun hampa bagai menabur garam di laut. Pola pemberdayan yang diharapkan beranak tangga dari 1 menjadi 2 dan 2 harus meningkat menjadi 4, ternyata mandek dan terkubur kaku bagai seorang yang mengubur talenta yang diberikan tuannya.

Pola pemberdayaan ini selain diharapkan adanya peningkatan ekonomi, juga adalah melindungi keseimbangan ekosistem alam. Mimpi indah itu kini terjelma menjadi malapataka besar dan akan mengancam keseimbangan kosmos yang ada di dalamnya.

Alam punya potensi yang cukup selain melindungi flora dan fauna yang langka dan juga sebagai sumber mata air dan penyedia CO² kini telah diubah menjadi lahan pribadi yang ditanami berbagai jenis tanaman horti dan juga komoditas lainya.

Puluhan hektar hutan dirampas secara membabi-buta dan digilas secara kejam oleh segelintir oknum serakah. Semua demi kepentingan pribadi dan keluarga mereka.

Bertindak tanpa ada nurani dengan merusak alam dan mengubah alam menjadi lahan pribadi yang lolos dari pantauan pemerintah.

Alam, sebagaimana diungkapkan ensiklik “Laudato Si”, mengajak kita semua untuk menjaga dan merawat alam dari kehancuran.

Ensiklik Laudato si’ (bahasa Italia yang berarti “Puji Bagi-Mu”) adalah ensiklik kedua dari Paus Fransiskus. Ensiklik ini memiliki subjudul  “On the care for our common home” (dalam kepedulian untuk rumah kita bersama).

Dalam ensiklik ini Paus mengritik konsumerisme dan pembangunan yang tak terkendali, dan juga konteks kerusakan hutan di mana-mana.

Lingkungam sebagai rumah kita bersama kini runtuh secara perlahan dan pasti. Dalam ensiklik “Laudato si” oleh Paus Fansiskus. Alam juga dipandang sebagai ibu yang kini sedang menjerit kesakitan akibat siksan dari anak-anaknya.

Santo Fransiskus dari Asisi adalah salah satu tokoh Gereja yang sangat mencintai alam. Alam adalah saudara baginya. Ia selalu menyapa segala jenis tumbuhan dan hewan dengan saudara misalnya saudara bunga, saudara jati, saudara kupu-kupu dan lainya.

Spritualitas ini justru menjadi refrensi bagi Paus Fransiskus dalam seruan profetisnya tentang ensiklik “Laudato si” Paus Fransiskus mengharpkan kita harus menerima alam sebagai saudara kita.

Seruan profetis atau kenabian ini kini harus disadari oleh kita semua.

Keserakahan dari segelintir orang ini berimbas pada dampak lingkungan.  Beberapa persoalan mulai muncul bagai anak sungai. Mulai dari rendahnya debet air bahkan kekeringan mata air mulai tampak.

Masyarakat kedua desa ini setiap tahun harus mengeluarkan biaya rutin, yakni membeli air tangki di sekitar Maumere yang bersumber dari sumur bor dengan biaya sebesar Rp. 600.000 /tangki.

Beberapa jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan yang sering diceritakan nenek moyang kini hanya terlampir dalam gambar. Semuanya lenyap dan menjadi cerita mati.

Kerugian lain yang dirasakan juga dari pihak pemerintah adalah anggaran yang diplotkan kepada kedua desa ini,  yakni pipanisasi dangan budget anggaran sekitar ratusan juta rupiah untuk pipanisasi dan lainya. Lantas hal ini hanya menambah besarnya kerugian karena sumber air tidak cukup sehingga banyak pipa menjadi mubazir.

Kerusakan yang terus-terusan dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan sebagai “satu tanda kecil dari krisis etika, budaya dan spiritual modernitas.”

Kenyatan ini jangan dianggap sepele. Melainkan mesti ada tindakan solutif serentak pengorbanan dari semua pihak. Perlu “revolusi budaya” dan gerakan “aksi global secara terarah kepada semua elemen masyarakat.

Pemerintah, kepolisian pihak kehutanan, dan juga tokoh-tokoh adat bersinergi untuk bersama-sama membangun komitmen dalam menyembuhkan alam yang terluka.

Praktisnya adanya reboisasi kembali hutan yang telah gundul, serta terus memberi edukasi kepada warga yang ada di sekitar kawasan.

Lebih dari itu jika pihak-pihak yang punya wewenang mesti mempertegas regulasi dan mengambil tindakan pembinan dan hukuman yang sesuai dan tegas terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja merusak alam dan lingkungan.

Maumere, 14 Mei 2021

Penulis: Lamenk Mana | Aktivis Pemuda Desa Wolomotong, Kecamatan Doren, Sikka, NTT