Pemanfaatan Hutan Jangan Menabrak Paradigma Budaya dan Harus dalam Bingkai UU 18/2003

Penulis: Adeodatus Maring, S.Fil

Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp
Adeodatus Maring, S.Fil, Mahasiswa Pasca Sarjana Ledalero, Aktivis pemuda Doreng

SURYAFLOBAMORA.COM – Hutan merupakan sebuah karunia yang dianugerahkan Tuhan, dan merupakan paru-paru dunia. Ia mesti dijaga dan dirawat demi keutuhan komponen makhluk hidup. Eksistensi hutan harus diamanatkan kepada setiap pribadi dan disyukuri, serta dikelola secara optimal.

Pengelolaan hutan yang mempertimbangkan aspek keseimbangan ekologis dan kemakmuran rakyat secara utuh dan menyeluruh sejalan dengan tuntutan UUD 1945.

Hal ini berarti hutan boleh dimanfaatkan demi kemakmuran masyarakat tanpa harus merusak dan membunuh ekosistem yang lain.

Kenyatan ini jelas dalam bingkai peraturan undang-undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Dalam peraturan ini ditegaskan adalah pemanfaatan hutan dan penggunaan hutan harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial dan ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang.

BACA JUGA:

Hal ini perlu menjadi sebuah kesadaran kolektif. Lantaran demi memanusiakan manusia menjadi lebih beradab dan bisa bertahan dan mampu berdaya saing dalam tuntutan ekonomi yang semakin hari semakin tinggi maka, beragam program dan kebijakan lahir dari pemerintah termasuk izin pengelola hutan kemasyarakatan.

Program HKm merupakan blusukan dari pemerintah yang patut diapresiasi demi
memperdayakan manusia. Dalam Peraturan Kementerian Kehutanan Nomor:P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan.

Pasal 23 tertuang 1) pada hutan lindung pemegang IUPHKM berhak; mendapat fasilitas, melakukan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan, dan melakukan kegiatan memungut hasil hutan bukan kayu (HHBK)

2.) Pada hutan produksi pemegang IUPHKm berhak, mendapatkan fasilitas, melakukan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan, melakukan kegiatan memungut hasil hutan bukan kayu (HHBK).

Adapun beberapa hal yang mesti disadari bahwa ketika diberi kesempatan dalam mengelola hutan terdapat beberapa rujukan yang wajib ditaati.

Hal tersebut diatur dalam Peraturan Kementerian Kehutanan Nomor:P.37/Menhut-Ii/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, pada bagian kedua, yakni ketentuan Asas dan Prinsip.

Itu berarti pemerintah tidak memberikan kuasa penuh kepada masyarakat dalam mengelola hutan secara sewenang-wenang, melainkan terikat dan tunduk pada asas dan taat prinsip yang berlaku secara umum.

Di dalamnya termuat penyelenggara hutan kemasyarakatan berasaskan manfaat dan lestari secara ekonomi sosial dan budaya.

Dalam menjalankan asas yang dimaksud tentu berpedoman pada prinsip tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan.

Itu berarti harus mempertimbangkan keanekaragaman komoditas dan
keseimbagan ekologis yang ada didalamnya. Hal ini bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Dalam kewenangan ini tentu harus disadari adanya sebuah batasan-batasan yang mesti
ditaati dan dijaga serta menjadi sebuah kesadaran kolektif. Bahwasannya hutan kemasyarakatan diselenggarakan untuk peningkatan kapasitas dan memberi akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari demi ketersedian lapangan pekerjaan dan memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.

Di samping bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaat Sumber Daya Hutan, serentak bersikap adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga keutuhan dan kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.

Perlu disadari bahwa sekalipun hutan kemasyarakatan diberi ruang kepada
masyarakat untuk mengelola, yakni kawasan hutan lindung dan hutan produksi dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan.

Dengan demikian, jelas bahwa di luar ketentuan ini adalah sebuah pelanggaran. Adapun ketentuan yang mesti disadari yakni belum dibebani hak atau izin, dalam
pemanfaatan hasil hutan.

IUPhkm hanya diberi izin dalam jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang sesuai evaluasi selama 5 tahun.

Pengelolaan Hutan Jangan Menabrak Paradigma Budaya  

1
2
  • TAGS
  • Adeodatus Maring
  • Aktivis pemuda Doreng
  • Hutan Kemasyarakatan
  • Mashasiswa Pasca Sarjana Ledalero
  • NTT
  • Opini
  • Pemegang IUPHKM
  • Permenhut No P.37/2007
  • Perusakan Hutan
  • Perusakan Hutan di Sikka
  • S.Fil
  • UU No 18/2003
Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp
Previous articleTanggal 1-14 Juni Semua Provinsi Indonesia Terapkan PPKM Mikro
Next articleKPU Usul Penyelenggaraan Pemilu 2024 Dipercepat Februari