‘Keru Baki’ Karya Anak NTT Lolos Festival Film Internasional

Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp

KUPANG, SURYAFLOBAMORA.COM- Aldi Purwanto Bediona anak Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, mencatat prestasi dalam karya seni film.

Sebuah film pendek berjudul ‘Keru Baki’ karyanya, lolos Festival Film Internasional dalam seleksi Kalimantan Indigenous International Film Festival (KIIFF) 2021.

‘Keru Baki’ berkompetisi di antara ratusan film dari berbagai daerah di Indonesia. Dan ‘Keru Baki’ merupakan satu dari 18 film yang dinyatakan lolos seleksi.

Sineas Aldi Purwanto Bediona

Film karya anak Lamalera ini, mengangkat tema alam dan budaya Lembata. Kearifan lokal masyarakat Lembata, menjadi point cerita sari film ‘Keru Baki’.

Kisah film ini, sederhana tetapi sarat pesan dan makna. Bencana banjir bandang dan erupsi gunung Ile Ape (Ile Lewotolok) menjadi muatan dari film ini. Bahwa orang Lembata atau masyarakat Lamaholot pada umumnya, mempunya cara tersendiri untuk menjaga kelestarian alam. Cara berdamai atau rekonsiliasi dengan alam itu sendiri, ditampakan dalam film ini.

“Saya puas film ini lolos seleksi Kalimantan Indigenous International Film Festival (KIIFF) 2021. Saya tidak menyangka kalau ‘Keru Baki’ bisa bersaing dengan ratusan film yang lain. Dengan cara ini, saya ingin menunjukan ke dunia luar bahwa Lembata punya cara tersendiri untuk menjaga dan merawat kelestarian alamnya,” kata Aldino yang dihubungi Surya Flobamora.com, Selasa (7/7/2021).

Anak dari mendiang Felix Bedona ini mengatakan, ritual kearifan lokal masyarakat adat di kaki gunung Ile Lewotolok, Kabupaten Lembata, yang diangkat dalam film ‘Keru Baki’ menjadi medium bagi manusia untuk kembali memperbaiki hubungan dengan alam dan Tuhan. Atau dalam keyakinan masyarakat adat Lamaholot, Tuhan yang disebut Lera Wulan Tana Ekan.

“Keru Baki menjadi medium manusia kembali memperbaiki hubungan dengan alam dan Tuhan. Disini kita bisa belajar bagaimana kembali bersahabat dengan alam melalui kearifan lokal yang dimiliki,” kata Aldi.

Pegiat Seni, Haris Dores menyebutkan, ‘Keru Baki’ bermakna penyucian atau dalam Teologi Katolik disebut pengkudusan. Oleh karena itu, ‘Keru Baki’ mengajak manusia untuk bersahabat dengan alam.

“Maknanya tentu sangat dalam, tentang bagaimana manusia memperlakukan alam sebagai sahabat dan bukan mengeruknya sampai rusak. Kita harus selalu mensyukuri apa yang diberikan alam,” ungkap Haris Dores.

Dicermati dari sudut pandang lingkungan, film ‘Keru Baki’ sangat aktual dengan situasi Lembata saat ini. Isu lingkungan selalu jadi poin utama dalam dinamika pembangunan di Lembata. ‘Keru Baki’ seolah hadir di tengah perbincangan hangat masyarakat madani perihal pembabatan tanaman pandan di Pantai Mingar, Nagawutung dan penggusuran bakau di pesisir desa Merdeka, Kecamatan Lebatukan oleh investor lokal. 

Selain itu Abdul Gafur Sarabiti, salah satu pegiat budaya memberikan pandangan soal makna dari film ini. Katanya, alam punya kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Akan tetapi, alam membutuhkan waktu. Namun, kemajuan yang diciptakan manusia bergerak begitu cepat, hingga alam tidak sanggup beradaptasi. Kerusakan justru makin masif terjadi dan terstruktur.

“Alih-alih merawat dan melestarikan, manusia justru termotivasi untuk merusak alam atas nama pembangunan. ‘Keru Baki’ mengirim sinyal akan kerusakan itu, sekaligus menawarkan solusi dari kearifan lokal masyarakat Lembata yang sudah diwariskan turun temurun. Alam Lembata semakin rusak, tetapi ‘Keru Baki’ membuat kita optimis,” pungkas Gafur Sarabiti.

Penulis: Protus Burin
Editor: Alvin Lamaberaf